GERHANA BULAN OLEH DOROTHEA ROSA HERLYANI


GERHANA BULAN
Oleh Dorothea Rosa
Herliany
Sekonyong-konyong ada
bidadari turun dari bumi
Bukan! Bukan bidadari!
Melainkan seorang perempuan
cantik. Ah, bukan…. Mungkin
artis dangdut, menyeberangi
pematang sawah. Mata Mak
terbelalak menyaksikannya.
Wanita yang menyeberang
sawah itu benar-benar cantik.
Tiba-tiba mulut Mak terbuka, dan
ia memekik gembira.
‘’Sartini pulang, Du!’’ kata
Mak keras-keras ketika melihat
wanita itu melenggang di
pematang sawah mendekat ke
gubuknya. Mak berhambur ke
rumah, mencari ank lelakinya
yang sudah hamper tiga tahun
tidak punya pekerjaanlain selain
bengong di sebuah senthong
khusus, dengan kedua kaki
terpasungg. “Istrimu pulang,
Le…”
Wanita yang disebut
Sartini itu sudah tersenyum
begitu melihat Mak kembali
menyambutnya.
“Kemana saja kamu,
Nduk?” Kata Mak sambil
menahan tangis kecilnya.
Sartini mulai menangkap
keharuan Mak.
Mak memeluk Sartini
begitu perempuan cantik itu
sampai di dekatnya. Aroma
parfumnya menyengat hidung
Mak.
Perempuan tua jadi makin
enggan melepas pelukannya.
Pikirannya melambung meraba-
raba bentuk kehidupan
menantunya itu kayak apa
sekarang.
Sartini melihat sekeliling.
Gubuk dengan dinding anyam
bambu itu. Tidak ada yang
berubah sama sekal. Cuma tubuh
Mak lebih kurus dan makin
penuh dengan kerut-kerut.
“Kamu benar-benar
membuat Mak cemas. Kemana
saja Nduk?”.
Sartini tetap menangis
terisak. Rambutnya dielus
tangan Emak. Wanita benar-bnar
membuat wanita itu terkagum
orang-orang yang dalam waktu
sekejap merubung. Mereka tidak
melihat Sartini yang
meninggalkan desa ini tiga
tahun lalu. Tetapi mereka seperti
melihat wanita cantik dan
“mewah” seperti yang biasa
menyanyikan lagu dangdut
kesukaan mereka di televisi
yang mereka tonton di balai
desa.
Tiba-tiba Gendon muncul.
Anak enam tahun itu
berhambur. “Yu Sartini datang
naik sedan, Mak. Mungkin Yu
Sartini sudah kaya-raya.” Wajah
anak itu berbinar-binar.
Sartini menoleh. Begitu
anak itu sampai didekatnya.
Tangan sartini mengelus anak
lugu itu.
“Ayolah masuk, Sar. Itu
Sardu menunggumu. Ia pasti
senang kamu pulang.”
Sartini hanya menurut.
Hatinya rusuh. Ia takkan
mengerti harus berkata apa. Ia
hanya punya niat untuk
singgah.
Tetapi, kenapa kenapa
mereka seperti baru ini bertemu
atau bertutur dan bertegur sapa
dengannya? Lalu apa artinya
surat-surat Sar yang dikirim
lewat Darsono setiap bulan
sekali, atau bahkan dua minggu
sekali? Dan untuk surat itu,
Sartini tak pernah lupa
menyelipkan satu dua lembar
lima puluhan ribu.
“Apa Mak selama ini
belum pernah menerima surat
dari Sar?” bisik Sartini.
Mak seperti terperanjat.
“boro-boro surat.kabar di mana
kamu berada saja tak pernah
mendengar,” kata Mak. Tak habis
keheranannya.
Sartini gemerutuk
giginya. Ia membayangkan
wajah Darsono. Laki-laki culas itu
memang kadal. Jadi,surat-surat
dari desa yang diketik, lalu
dengan tanda tangan yang
benar-benar tidak luwes dari
tanda tangan Kardu itu pasti
rekayasa Darsono? Kenapa aku
percaya saja dikibuli begitu?
Dikibuli bahwa kardu membalas
surat-suratku, lalu ia bercerita
telah tiba-tiba bias jadi pegawai
kecamatan dan memegang
mesin tik? Mengapa
kesetiaannya yang sudah
sedemikian mengental dalam
hidupnya, begitu mudah runtuh
oleh keadaan? Hati Sar gemuruh.
Ia lalu tahu, kecemburuan
membakar habis semua yang
pernah dipertahankannya.
“Kadal!” dan Sartini
akhirnya hanya bias
mengumpat.
Mak menuntunnya ke
sebuah senthong yang paling
terpencil di rumah yang cukup
luas meski terkesan singup itu.
“kamu perlu melihat suamimu.
Kamu perlu tahu betapa
suamimu sangat kehilangan
ketika benar-benar hilang tanpa
kabar,” bisik Mak.
Sartini ingin protes, tetapi
percuma saja. Darsono harus
disembelih, bisiknya, tak habis
geram.
Di sudut kamar sempit itu
sartini melihat laki-laki amat
kurus dan pucat termangu-
mangu dengan kaki terpasung.
Sesekali tersenyum tanpa sebab.
Ganjil!.
Hati perempuan itu
seolah meledak. Tetapi ia hanya
melihat bintang-bintang jutaan
jumlahnya. Lalu entah !.
Sebelum pingsan, ia
sempat mendengar bisik Mak.
“Mak terpaksa melakukannya.
Kalau tidak, kasihan sekali ia jadi
ejekan orang, Nduk. Jadi bulan-
bulanan anak-anak.
Jadi….”
Bahwa kenyataan selalu
lebih pahit dari apa yang
dibayangkan, Sartini akhirnya
percaya, ia menghadapi
kenyataan hidup yang sangat
pahit. Ia tahu Darsono laki-laki
culas dan rakus, tetapi bias saja
ia tertunduk di bawah
dengkulnya. Cerita bohong
tentang Kardu di desa yang
hanya bias ditempuh dua hari
dua malam dengan kendaraan
umum, beberapa hari dengan
surat, ternyata bias
menghancurkannya selama
bertahun-tahun. Sebab Sartini
benar-benar tak percaya bahwa
takkan pernah ada surat-
suratnya yang dititipkan
Darsono tak akakn sampai. Dan
Sartini juga begitu percaya
bahwa surat kardu selama ini
adalah surat palsu,hasil
ke”bulusan”an Darsono sebagai
pelempang jalan tercapainya
pamrih sendiri. Darsono, selama
ini, di mata Sartini benar-benar
bagai mata agung.
Tetapi apa boleh buat?
Sartini mau saja dibujuk
Darsono, lalu jadi suaminya
dengan kawin “lari”, meski ia
tahu betapa perkawinan model
itu hanya persyahan suatu
perzinahan, paling tidak
menurut anggapannya sendiri.
Tetapi apa boleh buat? Ia begitu
dendam pada Kardu yang
ternyata tak secuilpun bersalah.
Ia tea mengkhianatinya, atas
nama dendam. Dan untuk
“penebusan” itu,ia mengirim
surat-surat dan lembaran uang
untuk Mak, tanpa tahu apakah
angina menyampaikannya.
Kenyataan begitu pahit.
Kardu nggleleng (gila halus). Mak
dan adiknya, Gendon, hidup
dalam serba ketakmenentuan.
Sementara ia sendiri
terjerembab pada bentuk hidup
yang begitu cerdas diskenari
Darsono. Ahhh… Sartini merasa
akhirnyaseperti hidup dalam
kurungan burung.
Sekarang pun. Ketika
Darsono memaksa Sartini
mampir ke rumah bekas
suaminya, mula-mula Sartini
enggan, karena dendam. Tetapi
karena desakan Darsono untuk
menengok bagaimana bekas
suaminya sekarang, dan desakan
hati Sartini sendiri untuk
bertemu Mak mertuanya,
akhirnya Sartini mau. Meski
hanya singgah untuk beberapa
menit saja.....
Tetapi ia kini tahu.
Darsono agaknya ingin Sartini
melihat bekas suaminya gila.
Agar perempuan itu tak
memikirkan masa lalunya lagi.
Untuk itu, mungkin keinginan
Darsono, laki-laki culas itu bisa
menikmati kebersamaannya
dengan Sartini dengan lebih
tenang.
“Kadal!” berkali-kali
Sartini mengumpat pelan.
Sartini benar-benar tak
percaya melihat keadaan Kardu.
Mak melihat keanehan itu. Ia
juga tak mengerti betapa
bodohnya dirinya menghadapi
kenyataan ini.
“Kalau Kardu begitu, itu
berarti sangat berartinay dirimu,
Nduk. Bukan karena
kecantikanmu saja, bukan
karena yang tampak, bahkan
meski suamimu mungkin sangat
kecil di matamu. Dulu, ketika
ketika kalian akan menghadap
penghulu, tak ada siapapun
yang memaksa kalian. Itu semua
kemauan kalian sendiri. Juga,
ketika kamu juga sudah dewasa.
Tapi Mak bisa memaklumi
kenapa sampai terjadi seperti ini.
Mungkin itu di luar kehendak
kalian sendiri. Sekarang .
sekarang keadaan sudah
terlanjjjjjjur seperti ini. Mak tidak
memaksa kamu kembali pada
kardu. Itu tidak mungkini. Sebab
mana mungkin dalam keadaan
seperti itu. Kamu mesti
mendampinginya sebagai istri.
Apalagi keadaanmu sudah
seperti ini. Seperti langit dan
bumi saja layaknya,? Tutur mak
panjang lebar.
Sartini hanya menangis
terisak. Air matanya tak habis-
habisnya.
“Apa yang bisasar
lakukan, mak?” bisik Sartini tak
mengerti.
“Apa saja yang baik kamu
pikirkan, nduk. Biarlah. Sekarang
semua sudah menjadi tanggung
jawab Mak. Paling tidak sampai
Mak menghabiskan umur yang
mungkin tinggal beberap waktu
lagi saja. Tapi sekarang kamu
lakukan sendiri apa yang baik
kamu lakukan, nduk. Jangan
berjalan tanpa pedoman. Kalau
kamu melihat keadaan buruk
begini, kamu jangan sekali pun
menganggapnya rintangan.
Jangan pernah lupa ibadah,” Mak
tak henti-henti mengelus rambut
Sartini.
Sartini juga tak habis-
habis menangis. “Sekarang
Sartini tidak bisa lama, Mak. Sar
mesti kembali ke kota.”
Mak mulai mengisak.
“ Mak tidak
menghalangimu, nduk.
Berangkatlah!”
Sartini mencium tangan
Mak. Lalu ia berhambur kea rah
Kardu. Mak menahannya,
“Jangan lakukan nduk. Nanti
malah ndak baik jadinya,” cegah
Mak.
Sartini lagi-lagi terisak.
Ketika orang-orang
melepaskan kepergian Sartini,
Sartini tak bisa membendung
perasaan harunya. Darsono
sudah menyambut disamping
mobilnya.
“Kok sopirmu tidak diajak
masuk,” bisik Mak.
Sartini hanya tersenyum.
Mak tidak tahu bahwa senyum
itu getir. Tangan Sartini
menyisipkan beberapa lembar
lima puluh ribuan ke tangan Mak.
Mak mau menolak, tapi Sartini
segera bergegas.
Wajah Mak makin tampak
sedih dan haru.
Orang-orang
melambaikan tangan begitu
begitu Sartini masuk mobilnya.
Lalu mereka belum beranjak
sampai mobil bagus itu
menghilang di tikungan.
“Tidak menyangka.
Bertahun-Tahun ditunggu,
hanya akan beberapa menit saja
Sartini dating menjenguk Kardu,
suaminya.” Bisik sepupu Mak,
Kang Jamin.
Mak hanya menunduk,
langkahnya berat.
Di perjalanan Sartini
belum mampu menghapus
dukanya. Darsono sesekali
mencuri wajah Sar lewat kaca
spion.
“Mas, memang kadal!”
bisik Sartini setengah
mengumpat.
Darsono hanya
tersenyum. “Sama suaminya kok
berkata begitu. Dulu ngatain
suaminya keong. Tetapi begitu
keong jadi komoditi eksport,
kamu ganti ngatain dengan
kodok. Begitu kodok jadi
makanan mewah, sekarang
ganti kadal. Kalau nanti kulit
kadal jadi bahan pakain kelas
tinggi, ganti apa lagi, Sar?”
Darsono menggoda.
“Nggak ada. Kadal itu
paling bagus buat mas,” kata
Sartini .
“Tapi kadal yang kamu
piara, kan…….?” Darsono masih
menggoda.
Sartini merajuk. “Mas
memang pintar. Gak bisa
membuat Sar marah! Jelek ah…!”
kata Sartini sembari hendak
memukul bahu Darsono
Laki-laki itu tertawa,
sambil cepat mengelak. Suasana
dalam mobil itu berbalik derajat,
dari 0 ke 180. Rengek Sartini
menimpali tawa suaminya.
Wanita itu seolah sudah begitu
cepat terlepas dari perasaan
kelamnya.
Magelang, 1994
Bonus Cerpen Ultah ke-12
Majalah SARINAH
Rewrited by arsonfalseto